Resiko Orang
Lucu
“Melucu Itu Sulit. Meleset dikit,
Garing. Lebay dikit, kayak dipaksain.”
Kutipan itu
selalu saya ingat setiap kali berusaha ngelucu di sosmed sampai di dunia nyata.
Bagaimana tidak, orang yang sudah terbiasa melucu seolah seperti mendapat
tuntutan untuk selalu mengeluarkan candaan-candaan setiap saat. Padahal lucu
itu kan naluri, kalau dipaksain kan gak enak juga. Tetapi kalau tidak ngelucu
suasana jadi dingin kek dia yang sekarang udah dapetin orang yang lebih asyik
dari kita. L
Seorang
yang sudah terbiasa melucu memang selalu bisa melakukan apapun menjadi lucu,
entah itu disadari atau tidak, semua seperti mengalir begitu saja. Mulai dari
omongan, tindakan-tindakan, sampai tulisan-tulisannya lucu semua. Bahkan orang
yang dasarnya memang lucu, diampun dia lucu.
Mungkin saya
termmasuk orang seperti itu, tapi belum sampai yang lucu maksimal deh. Kalau
udah lucu maksimal, mungkin saat ini saya sudah duduk di bangku juri stand up
comedy, atau malah sudah duduk di pelaminan bersama pujaan hati. Sayangnya saat
ini sedang melewati masa-masa Jomblo. Deep... haha
Munculnya
persepsi yang menganggap diri kita lucu itu merupakan beban mental buat orang
humoris. Label humoris yang sudah terlanjur disematkan kepada kita ternyata
memberi beban tersendiri. Setiap saat kita diwajibkan untuk sigap melucu atau
sekedar mencairkan suasana. Baguslah kalau suasana hati sedang enjoy, kalau
sedang badmood apa iya kita tetap harus menjadikan orang tertawa? Berat
braay...berat.
Lucu itu
merupakan pekerjaan yang menurut saya beresiko memang. Orang yang sudah
dilabeli humoris, saat seriuspun masih dianggap bercanda. Ini nih, kebayang gak
saat orang humoris udah lama memendam rasa suka pada teman dekatnya, terus
kerana dia memang sudah cinta akhirnya berani atau enggak harus diungkapkan.
Lalu kemudian saat diungkapkan si cewek yang ditembak bilang gini “hahaha,
jangan bercanda deh, masa iya kamu suka sama aku, orang konyol kek kamu pasti
cuman bercanda kan...!” “Sakiiit tapi nggak berdarah.... L”
Ada yang
lebih parah lagi daripada itu, yaitu saat orang humoris sedang sedih. Eh, asal
kalian tau aja yaa, orang humoris itu juga bisa sedih, namanya juga manusia
biasa. Tapi saat orang humoris sedih, temen-temen sekitar kita pasti otomatis
bilang gini “Yaelahh, apaan sih pakai acara sedih segala, wajahmu tuh nggak
pantas kali kalau sedih, jadi terlihat aneh gitu tau”. Allahuakbar, ini sudah
keterlaluan. Masih banyak lagi resiko besar yang menghinggapi orang humoris.
Seperti garing, terus kalau keterlaluan nyinggung orang lain, dan harus
melakukan hal yang berlawanan dengan suasana hati.
Lalu
bagaimana orang humoris dengan segala resikonya harus bertindak? Tenang, melucu
itu bukan perbuatan dosa kok asalakan kita mampu tetap mengendalikan diri dan
menyesuaikan sikon malah berpahala karena menghibur orang lain. Yang penting
saat melucu itu harus tulus, gak usah terlalu dipaksain karena melucu itu
adalah naluri, kalau dibuat-buat kesannya juga kelihatan maksa. Nggak lucu
nggak masalah, pelawak atau komika yang sudah terkenalpun kadang juga garing,
apalagi kita. Mendapat tuntutan untuk selalu lucu dan dianggap ngelawak saat
kita serius tak perlu dijadikan beban karena itu akan
semakin mengasah intelektualitas kita dalam bercanda. Orang yang
memiliki selera humor yang bagus biasanya bersifat lebih sabar, jujur dan
peduli pada orang lain. Banyak manfaatnya kan?
Jangan berhenti jadi humoris.
Label:
Opini